Selasa, 15 Maret 2011

Manejemen Diri


Abad dua puluh satu adalah abad dominasi ilmu pengetahuan dan tehnologi dimana ilmu pengetahuan diberbagai bidang semakin maju dan perkembangan tehnologi semakin pesat. Kemarin dikeluarkan tehnologi Hand Phone dengan fasilitas kamera, sekarang sudah di keluarkan Hand Phone dengan fasilitas 3G dan entah apa lagi besok. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang demikian pesat maka persoalan yang dihadapi manusia pun akan semakin komplek. Sehingga sangat wajar jika kompetisi antar manusia, antar kelompok dan antar bangsa diseluruh bidang kehidupan semakin tajam. Persaingan tidak dapat dielakkan dan sudah tidak jamannya pula jika mengatakan manusia yang bertubuh kekar, berotot kuat, atau negera yang memiliki wiliyah yang luas dan berpenduduk banyak yang akan menjadi pemenang. Kunci untuk dapat memenangkan kompetisi di abad dua puluh satu adalah mengembangkan sumberdaya manusia (human resources) secara optimal.
Semua pihak mengakui bahwa sumber daya manusia (SDM) merupakan kunci dalam pembangunan suatu bangsa. Pertanyaannya adalah, apa yang terpenting dari SDM? The Liang Gie berpendapat bahwah hal yang terpenting dari SDM adalah kepribadian. Lebih lanjut The Liang Gie menegaskan, bahwa manajemen diri (self management) paling penting dalam SDM karena manajemen diri menyangkut diri perorangan dan mencerminkan seluruh kepribadian diri perorangan.
Dengan manajemen diri seseorang akan memiliki tujuan hidup yang jelas sehingga tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh lingkungan dan keadaan. Bukan hanya itu saja, dengan manajemen diri seseorang akan mampu melihat peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan diri sendiri dalam persaingan hidup sehingga akan lebih besar kemungkinan untuk meraih prestasi.
Mas’ud Chasan dalam bukunya, “Sukses Modal Dengkul”, barang siapa menginginkan sebuah prestasi maka harus mau mengusahakannya. Ia harus memiliki tekad yang kuat, berani menghadapi tantangan, tidak takut ejekan serta tertawaan lingkungan sekitar. Ia harus melibatkan seluruh potensi diri (tubuh fisik, emosi, mental, jiwa dan ruh) kedalam usahanya.
Perlu diketahui juga jika setiap prestasi apapun bentuknya pasti dibangun dari awal bukan datang secara kebetulan dan tiba-tiba seperti sulap. Borobudur tidak dibangun dalam sehari atau tugu Monas di Jakarta tidak dapat dibangun dalam waktu seminggu. Semua bangunan mengagumkan itu dibangun melalui proses yang panjang dan dengan manajemen yang ketat. Tentu dapat di bayangkan betapa kacaunya pembangunan tugu Monas jika tidak ada seorang Manajer yang mengatur pembangunan tugu Monas. Sama dengan candi Borobudur dan Tugu Monas, sebuah prestasi (apapun bentuknya) pasti dibangun dari hal yang terkecil, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun dan dengan manajemen yang ketat.
Sungguh mustahil bila sebuah prestasi tanpa adanya sebuah perjuangan untuk meraihnya. Dalam sejarah peradapan manusia tidak ada yang namanya pemalas menjadi pemenang. Coba sejenak menengok kebelakang, sejarah tentang orang-orang yang sukses meraih prestasi dalam sejarah peradapan manusia. Apakah prestasi itu datang tanpa adanya sebuah perjuangan? Apakah mereka tidak pernah mengalami sebuah kegagalan? Bagaimana mereka mengimplementasikan manajemen diri dalam proses meraih prestasi?
Thomas Alva Edison dalam kisah mesin rekamnya menceritakan, “Dalam tujuh bulan terahir ini saya bekerja 18 hingga 20 jam sehari, semata-mata menghadapi perkataan Specia. Saya berkata “Specia, specia, specia namun mesin rekam saya menjawab, “Pecia, pecia, pecia”. Saya bertahan terus untuk menyempurnakan mesin rekam saya dan ahirnya saya berhasil.”
Ahli piano Thalberg dikisahkan, bahwa ia tidak pernah memainkan musik-musiknya di depan umum sebelum ia memainkannya paling sedkit 1500 kali. Orang-orang menyebut Thalberg jenius, tapi ia sendiri tidak mau disebut jenius karena prestasi yang diraihnya dibayar dengan bekerja keras.
Semua orang tahu bahwa Bung Karno (Presiden Republik Indonesia yang pertama kali) adalah seorang orator ulung, namun tidak banyak yang tahu bahwa keahliannya berpidato itu bukanlah datang secara tiba-tiba. Keahliannya itu merupakan hasil dari latihan-latihan yang keras bahkan malam hari ketika orang lain tidur nyenyak.
Mark Spitz, bintang olimpiade tahun 1972 di Munich Jerman yang berhasil memperoleh tujuh mendali emas serta memecahkan tujuh rekor dunia baru dalam olah raga renang, mengatakan, “We all love to win, but how many people love to train?”-Kita semua menyukai kemenangan, tetapi tidak banyak dari kita yang menyukai latihan.
Ternyata, untuk mencapai prestasi orang-orang besar di atas harus melalui manajemen diri secara keras dengan latihan hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun. Kebanyakan dari diri kita hanya melihat nama besarnya saja. Kita tidak mau berusaha melihat bagaimana sukarnya mereka untuk memanajemen diri dalam meraih prestasi setiap kali mereka mengalami kegagalan.
G. Kingsley Ward berpendapat bahwa, kebiasaan untuk mau bekerja keras atau belajar memanajemen diri sendiri bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Hal itu membutuhkan hasrat dari diri sendiri untuk belajar, latihan untuk memusatkan perhatian dan yang lebih penting dari semua itu adalah semangat untuk bekerja keras serta pantang menyerah. Sebenarnya semua sikap positip dan produktif ini dapat diraih oleh semua manusia, namun beberapa saja yang benar-benar meraihnya.
Sekurang-kurangnya manajemen diri terdiri atas empat pokok yaitu, Plan, (rencana), Do (pelaksanaan), Check (evaluasi), Act (tindak lanjut dari evaluasi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar